Film Atlas dirilis di Netflix pada tanggal 24 Mei 2024. Film laga fiksi ilmiah dengan bintang utama Jennifer Lopez ini bercerita tentang perburuan atas teroris AI yang mengancam umat manusia. Menariknya, bagi para gamer, mungkin film ini cukup mengingatkan pada game Titanfall 2 yang sempat populer di masanya.
Selain Jennifer Lopez, film Atlas juga menghadirkan Simu Liu, Sterling K. Brown, dan Mark Strong sebagai para pemeran tokoh-tokohnya. Film ini juga disutradarai oleh Brad Peyton, yang sebelumnya menggarap film San Andreas (2015) dan Rampage (2018), juga serial di Netflix berjudul Daybreak (2019).
Karena saya menyinggung soal game Titanfall, ada baiknya saya juga menjelaskan sedikit soal game ini bagi kamu yang belum mengenalnya. Titanfall merupakan sebuah franchise game first person shooter, yang menempatkan pemain sebagai “Pilot” di sebuah robot dalam permainan 6 vs 6.
Sekuel game ini, Titanfall 2, menghadirkan gameplay berbasis cerita yang membuatnya menjadi favorit para gamer. Di cerita itu, seorang tentara bernama Jack Cooper terhubung dengan Titan BT-7274, setelah pilot aslinya tewas.
Jadi, kamu sudah punya gambaran soal game itu. Sekarang mari kita terjun ke film Atlas.
Cerita Film Atlas
Di dunia saat teknologi AI sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, robot-robot memberontak di bawah pimpinan Harlan (Simu Liu), teroris AI pertama. Ia diciptakan oleh Val Shepherd (Lana Prilla), tapi suatu hari melawan dan membunuh penciptanya.

Peperangan antara manusia dengan robot pun terjadi dengan pihak Harlan mulai mengalami kekalahan. Harlan kemudian kabur ke luar angkasa dengan ancaman suatu hari akan kembali menyelesaikan misinya.
28 tahun setelah kejadian itu, Atlas (Jennifer Lopez), anak Val Shepherd, menjadi seorang analis data. Karena kejadian di masa kecilnya, ia tumbuh sebagai seorang misantropi yang juga tidak mempercayai teknologi AI sepenuhnya. Atlas diminta oleh Jenderal Jake Boothe untuk menganalisis Casca, robot anak buah Harlan yang tertinggal di bumi dan tertangkap.
Atlas berhasil mengetahui tempat Harlan bersembunyi, yaitu di sebuah planet di galaksi Andromeda. International Coalition of Nation (ICN) kemudian mengirim tim untuk memburu Harlan, yang dipimpin oleh Kolonel Elias Banks. Pasukan ini menggunakan robot dengan teknologi AI yang disinkronkan dengan otak mereka untuk menjalankan misi tersebut.
Sebagai orang yang tidak mempercayai AI, Atlas menolak naik ke robot itu apalagi menghubungkan otaknya untuk melakukan sinkronisasi. Ia juga memperingatkan Kolonel Elias bahwa Harlan selalu punya jebakan. Benar saja, belum lagi pesawat masuk ke atmosfer planet tujuan, mereka sudah diserang oleh robot-robot anak buah Harlan.

Atlas pun terpaksa masuk ke dalam sebuah robot untuk menyelamatkan diri. Namun ia kemudian menemukan bahwa hanya ia yang selamat, sementara anggota tim lain tewas dan Kolonel Elias menghilang.
Tidak punya pilihan lain, Atlas harus memanfaatkan teknologi AI di robot itu, yang menyebut dirinya Smith, untuk bisa bertahan hidup dan menghadapi Harlan.
Punya Elemen Mirip Titanfall 2
Yah, tadi saya sudah menyinggung kalau film Atlas mengingatkan pada game Titanfall 2. Walau tidak sama, tapi ada beberapa elemen yang memang mirip dengan game itu.
Yang paling jelas tentu saja ada orang yang menjadi pilot robot-robot. Di film ini ada sinkronisasi antara sistem AI dan otak pilotnya, yang disebut “Ranger”, sementara di game tidak. Tapi pada keduanya ada perkembangan hubungan emosional antara si pilot dan robot yang dikendarainya. Lalu, mungkin para gamer punya pertanyaan soal “Protocol 3”. Ya, maaf kalau sedikit spoiler, tapi ada juga ada momen seperti itu.

Sebagai fans game Titanfall 2, terus terang perasaan saya agak bercampur aduk. Di satu sisi agak merasa geli dengan beberapa kemiripan elemen itu, di sisi lain juga senang bisa melihat sesuatu yang mirip dengan game itu ada di dalam film Atlas.
Akhirnya, saya memilih untuk merasa senang bisa melihat elemen-elemen itu ada di dalam film ini. Karena terus terang saya cukup pesimis apakah akan mendengar ucapan “Get ready for Titanfall” di layar lebar.
Drama Antara Manusia dan AI
Di luar beberapa elemen yang mirip dengan game Titanfall 2, film Atlas menyajikan tema yang cukup berbeda. Di sisi luar, film ini memang dibungkus dengan perang antar robot canggih di planet antah berantah. Namun, di dalamnya ada drama soal kepercayaan yang dalam hal ini antara manusia dan teknologi AI, lewat hubungan antara Atlas dan sang AI, Smith.
Perkembangan hubungan itu berjalan hampir sepanjang film, terutama setelah Atlas masuk ke dalam robot dan menjadi pilotnya, dan digambarkan melalui bilah status sinkronisasi dari 0% sampai 100%. Tepat, kondisi 100% tercapai mendekati klimaks film ini.

Proses sinkronisasi itu melalui banyak perdebatan dan masalah, termasuk bagaimana Atlas menolak Smith mengakses ingatannya dan tidak ingin di analisa. Dalam proses ini terdapat beberapa dialog yang menarik, termasuk humor sarkas di dalamnya.
Selain dengan Smith, robot yang dikendarainya, Atlas juga memiliki drama tersendiri dengan Harlan yang jadi villain film Atlas ini. Tentunya hal itu berhubungan dengan trauma di masa kecil Atlas dan kematian ibunya.
Sedikit spoiler, Atlas juga pernah melakukan sinkronisasi dengan Harlan, yang kemudian memicu misinya untuk “menyelamatkan” umat manusia. Entah bagaimana pemikiran anak-anak bisa memberikan gambaran umat manusia pada sang AI sampai ia memberontak. Bagi saya ini cukup janggal.
Harus saya sebut di sini bahwa dinamika antara Atlas dan Harlan sebenarnya potensial. Terutama karena mereka dibesarkan bersama dan tahu pola pikir masing-masing. Atlas dan Harlan sama-sama berusaha selangkah di depan, yang digambarkan dengan permainan catur yang sering mereka mainkan waktu kecil.
Tapi sayangnya, sisi itu kurang dieksekusi dengan baik, sama seperti karakter Harlan sendiri kurang dieksplorasi lebih jauh. Perkembangan karakter Harlan yang berlawanan dengan Smith tidak ditunjukkan dengan baik. Sehingga kontras yang seharusnya muncul jadi kurang nyata. Sehingga ia akhirnya hanya terasa sebagai sosok villain yang harus dikalahkan.

Adegan aksinya boleh dibilang lumayan seru. Termasuk saat Atlas dikejar oleh Casca dan pertarungannya dengan Harlan. Efek visual CGI-nya mungkin terlihat ada yang kurang halus, tapi yah lumayanlah.
Yang jelas, jangan tanya soal sisi ilmiah bagaimana mereka bisa bernapas menggunakan alat penyedia oksigen yang kecil di bawah dagu, atau berbagai hal teknis lainnya. Nanti kamu pusing sendiri.
Lumayan Untuk Seru-seruan
Yah, film-film Netflix sering mendapat kritik karena sering cukup dangkal dan hanya jadi sebatas hiburan ringan saja. Film Atlas pun seperti itu. Saya bisa membayangkan kalau rating film ini dibanting oleh para kritikus.
Atlas menurut saya memang punya kelemahan. Ada logika cerita yang kurang pas, karakter yang kurang dalam, termasuk beberapa elemen yang mirip dengan game Titanfall 2 yang dibahas di atas (entah sengaja atau tidak).
Tapi sebagai film, Atlas masih menghibur. Paling tidak jika dibanding dengan beberapa proyek film Netflix lain, seperti Heart of Stone atau bahkan proyek ambisius Zack Snyder, Rebel Moon Part One dan Part Two. Yah, mungkin saya bias karena Titanfall. Tapi ya itulah opini saya.
Jangan lupa cek juga apa saja rekomendasi film Netflix terbaru.