The Imaginary merupakan sebuah film anime fantasi karya Studio Ponoc, yang sebelumnya kita kenal dengan Mary and the Witch’s Flower (2017). Film ini mengikuti petualangan Rudger, seorang teman imajiner dari seorang gadis bernama Amanda, yang menghadapi kemungkinan bahwa ia akan menghilang.
Film yang mengadaptasi novel karya A.F. Harold dengan judul sama ini awalnya direncanakan dirilis pada pertengahan tahun 2022. Namun karena ada penundaan pada proses produksinya, film ini baru dirilis di Jepang pada 15 Desember 2023. Kemudian, film The Imaginary dirilis di Netflix pada tanggal 5 Juli 2024.
Sebagai penggemar film-film Studio Ghibli, saya cukup menantikan film ini dengan perasaan was-was. Yah, dengan macetnya regenerasi di Studio Ghibli, Studio Ponoc mungkin menjadi salah satu rumah produksi yang nampaknya bisa membawa dunia imajinasi sejenis dengan gaya yang mirip. Bagaimanapun, beberapa orang yang berkiprah di Studio Ponoc sebelumnya bekerja di Studio Ghibli.
Jadi, saya pikir cukup wajar jika saya merasa was-was apakah film ini bagus atau tidak. Untungnya, film buatan Studio Ponoc ini berhasil menentramkan hati saya.
Sinopsis The Imaginary

Rudger adalah teman imajiner Amanda. Tidak ada orang lain yang bisa melihatnya, kecuali Amanda yang menciptakannya. Rudger selalu menemani Amanda berpetualang di dunia khayalannya yang luar biasa, terutama saat ia bermain di loteng rumah. Mereka mengikat sumpah: Tidak pernah menghilang, selalu saling melindungi, dan tidak pernah menangis.
Amanda tinggal bersama ibunya yang mengelola sebuah toko buku. Ayahnya sudah meninggal dunia. Rasa kehilangan inilah salah satu yang memicu lahirnya Rudger sebagai teman imajiner Amanda. Sayangnya, teman imajiner memiliki nasib yang tidak bisa dihindari. Mereka biasanya menghilang saat pencipta mereka beranjak dewasa dan mulai menjalani kehidupan nyata.
Keberadaan Rudger membuat Tuan Bunting (dibaca: Tuan Banting) memburunya. Ia adalah seorang pemburu teman imajiner yang melahap mereka untuk membuatnya tetap awet muda dan berumur panjang. Tuan Buntung sendiri punya teman imajiner, seorang gadis kecil, yang kini hanya bertugas menangkap teman imajiner lainnya dan tidak pernah merasakan kesenangan lagi.
Suatu ketika, saat kabur dari kejaran Tuan Bunting, Amanda mengalami kecelakaan dan koma di rumah sakit. Seiring kehilangan kesadaran Amanda, maka Rudger pun berangsur mulai menghilang. Saat Rudger mulai putus asa, ia ditemukan oleh Zinzan, sesosok teman imajiner berbentuk kucing, yang kemudian membawanya ke sebuah perpustakaan.

Di perpustakaan itu, ia bertemu dengan berbagai teman imajiner lain, yang selamat dan tidak menghilang, di bawah panduan Emily. Walau tempat itu bisa menjadi tempat perlindungan, namun Rudger yang teringat sumpahnya bersama Amanda, tidak bisa diam begitu saja. Ia pun berusaha mengembalikan kesadaran Amanda sebelum waktunya habis.
Penggambaran Imajinasi Yang Memukau
Sebagai sebuah rumah produksi film-film animasi Studio Ponoc menghadapi tantangan besar. Karya-karya mereka nampaknya tidak akan pernah bisa menghindar dari dibandingkan dengan karya-karya Studio Ghibli.
Yah, sebenarnya bukan sesuatu yang buruk, mungkin malah bagus. Di sisi lain, ini berarti mereka menghadapi harapan yang tinggi dari para penggemar anime. Sekali lagi, film The Imaginary berhasil memenuhi harapan itu.
Seperti yang pernah saya bilang di review film Suzume (2022), kadang film-film anime terjebak pada gambar yang bagus dan imajinasi unik, tanpa didukung dengan logika cerita yang baik. Bagi saya, salah satu yang patut disayangkan dalam kasus ini adalah film My Oni Girl (2024).

Dalam hal ini, film The Imaginary cukup berhasil melengkapi berbagai plot di dalamnya sehingga ceritanya terasa utuh. Baik situasi keluarga Amanda, bagaimana teman imajiner bisa menghilang, bagaimana para teman imajiner bisa bertahan, sampai bagaimana mereka menyusun plot armor dengan memanfaatkan memori masa kecil Lizzie, ibu Amanda, untuk menyelamatkan diri.
Dari sisi cerita ini, salah satu yang jadi favorit saya adalah bagaimana para teman imajiner mampu bertahan hidup di perpustakaan, karena buku-buku juga merupakan manisfestasi imajinasi manusia.
Apalagi mereka kemudian mendapat kesempatan untuk menjadi teman imajiner anak-anak lain yang membutuhkan. Teman imajiner yang kemudian disukai oleh anak-anak itu kemudian bisa menjadi teman mereka dan berubah sesuai imajinasi anak bersangkutan.
Rudger yang mencoba menjadi teman imajiner anak lain ternyata disukai dan penampilannya berubah menjadi anak perempuan. Ia kemudian panik karena masih ingin menjadi Rudger dan masih menaruh harapan pada Amanda.
Kedua hal itu merupakan detil dan solusi cerita yang menurut saya unik dan keren.

Karakter-karakter di film The Imaginary juga kuat dan digambarkan dengan menarik. Dengan begitu, karakter-karakter itu memiliki ikatan emosional dengan kita para penontonnya. Lihat saja beberapa karakter pendukung seperti Snowflake si kuda nil, Cruncher of Bones si tengkorak, atau Anjing Tua teman imajiner Lizzie.
Di sisi lain, kalau saya boleh sedikit rewel dengan detil, saya agak kurang puas dengan latar belakang Tuan Bunting, yaitu soal bagaimana ia bisa menemukan bahwa memakan teman imajiner bisa membuatnya terus hidup. Sejauh yang saya perhatikan, hal ini tidak dijelaskan di dalam film dan cukup membuat saya bertanya-tanya.
film ini menjadi presentasi imajinasi yang baik untuk sebuah cerita tentang imajinasi
Lalu, seperti yang bisa kamu lihat dari gambar-gambar yang ada di review ini, film The Imaginary membawa pengaruh yang kuat dari Studio Ghibli. Soal pengaruh ini saya sama sekali tidak keberatan, bahkan malah bersyukur.
Akan tetapi, lagi-lagi kalau boleh sedikit rewer dengan detil, saya kurang suka dengan efek blur atau gradasi pada bagian bayangan di tubuh karakter, misalnya di rambut. Kadang, hal ini membuat kesan “murah” dan “malas” muncul. Lihat saja tubuh Zinzan yang jadi kurang kelihatan “berbulu”.

Dalam wawancaranya dengan Variety, produser film The Imaginary menjelaskan kalau ia menerapkan teknik pemakaian tekstur untuk cahaya dan bayangan dari Perancis. Teknik ini ia pakai untuk membuat gaya yang berbeda.
Jadi saya mungkin bisa memahami kenapa pendekatan artistiknya seperti itu. Mungkin Studio Ponoc memang masih mencari bentuk gambar khas mereka sendiri. Tapi saya jelas berharap penerapannya untuk rambut atau bulu bisa lebih baik lagi.
Toh secara keseluruhan Studio Ponoc berhasil menghadirkan peristiwa-peristiwa dan tempat-tempat yang bernuansa magis, yang menunjukkan betapa luasnya imajinasi anak-anak.
Film Anime Yang Wajib Ditonton
Kalau saya harus menyebutkan satu hal penting tentang apa yang membuat film The Imaginary ini sangat berkesan, maka saya akan menyebutkan bahwa film ini mampu menggambarkan betapa luasnya dunia imajinasi, terutama imajinasi anak-anak.
Bagi saya pribadi, film ini menjadi presentasi imajinasi yang baik untuk sebuah cerita tentang imajinasi. Suatu hal yang juga mengingatkan saya kenapa saya suka dengan film-film Studio Ghibli.
Film ini mungkin belum sampai pada titik yang bikin kita berseru “Ini dia!!!”. Tapi dibanding dengan film Mary and the Witch’s Flower (2017), saya merasa film ini menjadi sebuah titik penting bagi perkembangan Studio Ponoc.
Sekali lagi, film The Imaginary dirilis di Netflix pada tanggal 5 Juli 2024, dan saya sangat merekomendasikan film ini untuk kamu tonton.