The Fabelmans adalah film coming of age, drama, dan semi autobiografi dari kehidupan sang sutradara, Steven Spielberg. Film yang berdurasi 150 menit ini menceritakan kehidupan Spielberg dari masa kanak-kanak sampai dia memutuskan untuk menjadi sutradara film.
John Williams yang sudah pensiun untuk menjadi komposer Star Wars, masih setia mengiringi film Spielberg yang satu ini.
Lantas, bagaimana performa The Fabelmans itu sendiri? Mari kita bahas review film The Fabelmans dari popculture.id

Sebuah Film Keluarga
Bagi orang Indonesia, mungkin tak asing lagi dengan genre drama atau film keluarga. Keluarga Cemara yang awalnya tayang sebagai serial tahun 1996, karena kepopulerannya kembali ke layar lebar sebagai film tahun 2018 dan 2022 kemarin adalah contohnya.
The Fabelmans, secara garis besar adalah film keluarga tentang keluarga Fabelman.
Keluarga Fabelman adalah keluarga Yahudi kelas menengah di tahun 1950-an Amerika. Steven Spielberg mencoba untuk menyentuh tema konflik antara dorongan bagi seorang seniman, tanggungjawab sebagai anggota keluarga, sekaligus talenta dan kebahagiaan.
Ibu dari keluarga, Mitzi (Michelle Williams), adalah mantan pianis yang memilih menjadi ibu rumah tangga. Kepala keluarga, Burt (Paul Dano) adalah engineer yang bekerja pada banyak perusahaan teknologi.
Suatu hari, Burt dan Mitzi membawa anak sulung mereka (Sekaligus karakter yang terinspirasi dari Spielberg sendiri) Sam “Sammy” (Gabriel Labelle) ke bioskop untuk menonton film “The Greatest Show on Earth”.

Ingatan Sammy kecil begitu dipenuhi oleh salah satu scene di film itu. Scene yang dimaksud adalah scene tabrakan kereta dengan mobil yang terhenti di rel. Sammy yang pertama kalinya menyaksikan magis dunia film, tak bisa tidur selama beberapa hari.
Bahkan, Sammy sempat mereka ulang scene itu dengan menggunakan mainan kereta api hadiah untuknya sampai rusak.
Misdirection
Awalnya saya berpikir, “Ah, ini film tentang seorang anak yang menemukan passion hidupnya, kemudian bekerja keras, menemukan berbagai kegagalan sebelum akhirnya sukses, bukan begitu?”
Mungkin banyak penonton yang berpikir demikian. Kalau dibuat garis kesimpulan, kurang lebih cerita The Fabelmans sama dengan anggapan pertama saya tersebut.
Tetapi, bukan itu tema yang ingin diangkat oleh Steven Spielberg.
Contohnya, ketika Sammy mereka ulang scene tabrakan kereta sampai merusak mainannya, Burt kebingungan mengapa Sammy mau melakukan itu. Sedangkan Mitzi, mengetahui sense artistik anaknya, dan menyuruh Sammy merekamnya dengan kamera milik Burt.
Ketika perjalanan pertama Sammy menuju bioskop pertamanya, Sammy dijejali informasi dari kedua orang tuanya. Burt menjelaskan soal film secara teknis, seperti bagaimana gambar bisa terekam dan muncul di layar. Sedangkan Mitzi mengatakan kalau film adalah produk imajinasi dan mimpi.
Dualisme Kehidupan
Itulah tema yang diangkat Spielberg kali ini. Dualisme antara artistik dan sains, antara mimpi dan tanggungjawab, antara bahagia dan tidak bahagia.
Tetapi, perbandingan ini tidak dibuat jelas 100%. Karakter yang digambarkan mewakili aspek tanggungjawab, ternyata untuk mengejar tanggungjawabnya malah menelantarkan orang-orang yang harusnya dia lindungi.
Mitzi, disebut sebagai pianis yang memiliki bakat untuk menjadi profesional. Tetapi, memilih untuk menjadi ibu rumah tangga dan tampil di radio. Mitzi mengaku bahagia dan melakukan pilihan itu demi keluarga.

Burt, adalah engineer yang beberapa kali membuat terobosan. Prestasinya itu membuatnya bekerja di berbagai perusahaan top seperti IBM dan Electric Company. Burt berulangkali mengatakan kalau dia bekerja keras untuk keluarganya.
Tetapi, seiring berjalannya film kita melihat perlahan satu persatu lapisan kepribadian mereka terungkap.
Mitzi yang mengaku “bahagia” berselingkuh dengan sahabat baik Burt. Sedangkan Burt yang mengaku melakukan pekerjaannya untuk keluarga, berulang kali membuat keluarga mereka pindah tempat tinggal karena alasan pemindahan kerja.
Perpindahan tempat tinggal ini makin membuat situasi di rumah keluarga Fabelman makin tak terkendali. Mereka semua memendam sisi lain, bisa dibilang dualisme, yang siap meledak kapan saja.
Bersiap Dengan Konsekuensi
Salah satu peristiwa yang mengubah kehidupan Sammy adalah pertemuannya dengan kerabat tua dari Ibunya, Boris.
Boris yang merupakan anggota sirkus mengatakan kalau untuk bisa sukses di dunia seni, seseorang harus siap untuk merobek hubungan keluarganya. Bersiap mengejar mimpinya bagai anggota sirkus yang siap diterkam singa untuk pertunjukan.
Sebelumnya, Sammy juga sudah digambarkan sebagai karakter yang memprioritaskan filmnya di atas segalanya. Sewaktu kecil, ada berbagai scene yang menampilkan Sammy kecil memporak porandakan isi rumah demi film.
Penonton mungkin menganggap sequence tersebut dimainkan sebagai komedi. Memang betul dalam konteks awal cerita. Tetapi, ketika penonton sudah mengenal karakter Sammy, scene tersebut menunjukkan ke-egoisan Sammy.
Talent vs Passion
Apabila anda menganggap di awal film kalau The Fabelmans adalah film tentang mengejar passion dan mencapai impian, maka buang anggapan itu.
Flow dan pengambilan gambar memang khas Spielberg, dengan menitikberatkan karakter dan apa yang mereka rasakan saat itu.
Beberapa trik perfilman juga ditunjukkan Spielberg saat Sammy mencoba membuat film amatir. Trik seperti menggunakan teknik cutting atau membolongi film untuk membuat efek tembakan.
Tetapi, kalau anda menganggap film ini adalah jenis film meta yang membahas cara membuat film, mengejar impian dan menjadi sukses, maka anda salah.

Meski terbilang tekun dan rajin berkarya, tak ada seorang karakter pun yang mengatakan pada Sammy kalau dia memiliki talenta membuat film.
Bukan berarti Sammy tidak memiliki talenta. Tetapi, yang ingin digarisbawahi oleh Spielberg adalah fakta bahwasanya talenta tak berarti apa-apa pada akhirnya.
Mitzi dianggap “membuang” talentanya karena memilih menjadi ibu rumah tangga. Sammy dihadapkan pada situasi yang membuatnya harus memilih.
Membuang talentanya untuk hidup normal, atau menjadi monster yang spesial dengan dorongan passion.
Pada Akhirnya, Pilihan Ada di Tanganmu
Salah satu scene favorit saya adalah ketika Mitzi yang sedang kacau pikirannya terlalu lama menyalakan kompor, mengakibatkan masakannya kelewat hangus.
Ketika mendengar permintaan maaf Ibunya soal makanannya yang hangus, Sammy hanya menjawab santai, “Tha’ts fine, I like it broken.” (Tak apa-apa, aku suka walaupun hangus/rusak)
Penulis beranggapan kalau apa yang dimaksud oleh Sammy di sini tak hanya masakan Ibunya yang kelewat rusak dan gosong, tetapi soal keluarga mereka juga.
Sammy tak mempermasalahkan kalau keluarga mereka hancur, penuh kekurangan, dan berantakan. Sammy menerima itu semua, bahkan terkesan tak peduli pada itu semua.
Asal dia bisa melanjutkan membuat film.
Karena itu, penulis ingin menutup review film The Fabelmans ini dengan kembali menekankan kalau film ini adalah cerminan adegan yang paling awal ditunjukkan di dalam film.
Sebuah trainwreck yang heboh, tetapi seolah luput dari mata semua orang.
Meski demikian, pilihan akhirnya ada di kita, mau mengikuti kata hati, atau menghiraukannya.