“The Batman” merupakan salah satu film yang saya tunggu di tahun 2022. Pertama, karena saya memang suka Batman; kedua, karena katanya sang sutradara memilih pendekatan pada sisi detektif sang manusia kelelawar; dan ketiga, yah, karena trailer-nya kelihatan menjanjikan. Setelah menonton filmnya, inilah review film “The Batman” dari saya.
Secara singkat, mungkin yang saya sebutkan pertama kali adalah pengalaman menonton film ini mirip dengan menonton “Joker“. Yah, memang tidak bisa membandingkan apple-to-apple, karena film ini tidak se-drama “Joker” dan masih ada cukup banyak adegan laga yang rancak.
Toh jangan berharap film superhero standar, apalagi yang seperti MCU. Kalau kamu tidak suka dengan film dengan ritme tidak cepat atau nuansa yang gelap, ya mending nggak usah nonton. Apalagi durasinya cukup panjang, yaitu 176 menit alias hampir 2 jam.
Tapi kalau kamu memang suka nonton film—bukan karena semata superhero dan hype—maka film “The Batman” bisa jadi suatu tontonan yang menarik.
“The Batman” Punya Kekuatan Sinematik
Secara umum, “The Batman” merupakan film yang keren. Baik dari sisi sinematik, musik, sampai akting para pemerannya. Kamu akan melihat kalau bagian-bagian film ini dirancang dengan penuh perhitungan.
Musik Mengantar Ritme Film
Salah satu yang segera menarik perhatian adalah bagaimana musik menempatkan situasi dan nuansa film. Misalnya lagu “Something in the Way” dari Nirvana yang mengiringi nuansa kota Gotham, kehadiran Batman dengan musik temanya yang baru, dan lagu “Ave Maria” yang mengiringi The Riddler.
Untuk soal musik, kritik saya adalah lagu tema Batman terlalu mirip dengan “Imperial March” dari saga “Star Wars” yang biasanya mengiringi kehadiran Darth Vader.
Nuansa Gelap Jadi Pisau Bermata Dua
Ya, nuansa film ini gelap. Tidak hanya dari sisi cerita saja, namun juga dari sisi visual. Hal ini menjadi pisau bermata dua. Bagi saya pribadi, nuansa gelap seperti ini bukan masalah.
Bagi yang memahami pendekatan neo-noir Matt Reeves, visual seperti ini akan terasa sesuai dengan jalan cerita.Tapi bagi yang berharap nonton film superhero yang mengkilat, jelas visual seperti ini akan berkesan muram.

Sayangnya stereotipe seperti ini sering menaungi film-film DC. Terutama film-film Batman. Di luar obrolan soal film ini, stereotipe ini agak mengancam posisi film superhero DC jika dibanding MCU.
Akting Prima
Hal lain yang menarik perhatian adalah akting para pemerannya yang prima. Baik Robert Pattinson, Paul Dano, Collin Farrell, Zoe Kravitz, sampai Jeffrey Wright sebagai Letnan Gordon.
Ketika dalam kostum Batman atau masih memakai riasan mata, ada kalanya kamu bisa lupa kalau itu adalah Robert Pattinson. Begitu juga Collin Farrell yang dibantu kostum dan prostetik Penguin. Kamu bakal lupa kalau di balik itu ada Collin Farrel.
Tapi mungkin yang paling keren di film ini adalah Paul Dano sebagai The Riddler. Oh my God, kamu bisa melihat kegilaan The Riddler hanya dari pandangan mata dan senyumnya.

Punya Kelemahan Klasik
Menurut saya, Matt Reeves masih mengulang kesalahan yang sering muncul pada film-film yang menghadirkan plot dan sub-plot, juga dengan banyak tokoh. Ada beberapa hal yang terasa dangkal dan kurang menggigit.
Pendekatan Detektif
Melihat sisi Batman sebagai detektif sangat menarik. Kita melihat Batman melakukan olah TKP dan memecahkan teka teki yang ditinggalkan oleh The Riddler. Ia juga menelusuri jejak mafia dan hubungannya dengan para petinggi kota Gotham, termasuk almarhum Thomas Wayne, ayahnya.
Tapi, saya merasa sisi detektif dan misteri ini masih kurang kuat. Bagaimanapun kita sebagai penonton sudah tahu kalau The Riddler adalah si pembunuh dan di sisi lain ada mafia yang menggerogoti Gotham. Efek dan tujuan pembunuhan itulah sebenarnya yang menjadi misteri.

Penyelidikan Batman pada masing-masing kejadian terasa singkat. Kita tidak diberi waktu untuk ikut merasa penasaran dan merasakan efek emosional dari pembunuhan itu. Misalnya teka-teki yang ditinggalkan untuk Batman. Kita menerima itu apa adanya. The Riddler musuh Batman. Wajar. Tapi tidak ada ketegangan dari sisi itu.
Jika mau membandingkan, hasilnya berbeda dengan hubungan Batman dan Joker di film “The Dark Knight”. Chaos yang dibawa Joker mengikat penonton sampai ketika ia memberi pilihan pilihan menyelamatkan Harvey Dent atau Rachel Dawes dan juga pilihan mengorbankan para kriminal atau warga.
Hubungan Antar Karakter
Hubungan antar tokoh juga kurang diperkenalkan dengan memuaskan. Baik Batman dengan Catwoman, Batman dengan The Riddler, atau posisi Penguin di film ini.
Bukan berarti Zoe Kravitz memerankan Catwoman dengan buruk, namun plotnya di film ini terasa kurang kuat, baik dari sisi kepentingan cerita maupun bumbu romantika. Catwoman di film “The Dark Knight Rises” yang diperankan Anne Hathaway lebih menonjol dari sisi fungsi dan alur romantis dalam cerita.

Begitupun dengan Penguin. Walau belum punya porsi besar, ia sebenarnya punya posisi menarik sebagai anak buah Carmine Falcone. Toh, kita tidak melihat terlalu jelas bagaimana sebenarnya hubungannya dengan sang bos mafia. Sehingga mendekati akhir film, dialog antara Penguin dan Falcone jadi kurang punya arti.
Secara obyektif, Nolan juga pernah jatuh pada masalah yang sama di “Batman Begins” dan “The Dark Knight Rises”. Tokoh Scarecrow, yang diperankan Cillian Murphy, kurang terasa kekuatan plotnya.
Film “The Batman” Terasa Kurang Padat
Bagi saya pribadi, masalah film “The Batman” bukan pada pendekatan neo-noir dan detektif. Tapi lebih pada plot dan ritme film. Karena jika plot dan ritme bagus, maka film berdurasi panjang pun enak kita tonton.
Ya, film “The Batman” punya durasi yang panjang, yaitu 176 menit. Dengan beberapa masalah di atas, durasi yang panjang itu jadi terasa kurang padat. Walau saya masih bisa menikmatinya, saya pikir ini bisa jadi beban bagi mereka yang punya ekspektasi tinggi atau—sekali lagi—berharap nonton film superhero standar.
Bukan berarti film “The Batman” jelek. Hanya saja, sebagai film dengan kekuatan sinematik dan dirancang dengan penuh perhitungan, “The Batman” masih belum menyajikan kekuatan penuh untuk mencengkram emosi penonton, dan potensi yang ada pun terasa mengambang.
Sekali lagi, secara obyektif, saya juga merasakan hal yang sama ketika nonton “Batman Begins”. Yang akhirnya terpuaskan pada lanjutannya “The Dark Knight”. Yah, kabarnya Robert Pattinson menandatangani 3 film Batman (apalagi ada Joker di akhir film). Semoga film berikutnya, selain bagus, juga bisa memuaskan.