Birds of Prey mulai tayang di Indonesia pada tanggal 5 Februari 2020. Sebagai pembuka review film ini, boleh kami katakan kalau Birds of Prey adalah film yang seru dan menghibur untuk ditonton. Walau tidak luar biasa keren, film ini melebihi dugaan sebelumnya (paling tidak dugaan saya). Rating Birds of Prey pun cukup baik setelah pemutaran perdana di beberapa negara.
Diakui atau tidak, film ini berada di bawah bayang-bayang Suicide Squad (2016). Tentu karena tokoh Harley Quinn yang diperankan oleh Margot Robbie. Film Suicide Squad sendiri, seperti kita tahu, mendapat kritik dan rating jelek.
Selain itu, Birds of Prey juga berada di bawah bayang-bayang film Joker yang dibintangi Joaquin Phoenix. Seperti kita ketahui, Joker adalah film yang kontroversial, laku bak kacang goreng, dan mendapat nominasi Oscar. Padahal film Joker berdiri sendiri, bukan bagian dari DCEU.
Saya sendiri awalnya melihat dengan agak pesimis. Berangkat nonton bioskop pun hanya sebatas ingin terpesona oleh Margot Robbie. Tapi toh ternyata saya menemukan sesuatu yang cukup asik.
Kisah Harley Quinn yang Galau
Film ini memang masih berhubungan dengan Suicide Squad. Cerita film Birds of Prey dibuka dengan Harley Quinn yang curhat soal putusnya ia dengan Joker. Harley Quinn yang galau ini terdampar di sebuah klub malam milik Roman Sionis, salah satu penjahat kelas kakap Gotham.

Ketika berlian Bertinelli incaran Sionis dicuri oleh Cassandra Cain, Harley pun terjebak di tengah konflik tersebut. Begitulah ia bertemu dengan tokoh lain: Renee Montoya, polisi idealis yang dikucilkan di kesatuannya; Dinah Laurel Lance (Black Canary), yang bekerja sebagai penyanyi dan jadi supir Sionis; Helena Bertinelli (Huntress), yang mau membalas dendam; dan Cassandra Cain, copet yang mencuri berlian.
Karakter Tokohnya Cukup Menarik
Judul lengkapnya Birds of Prey and the Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn. Jadi jangan heran kalau sebagian besar film lebih berpusat pada Harley Quinn. Yah, nggak salah juga, karena memang ia yang dijual di sini. Untungnya, Margot Robbie tetap membawakan karakter itu dengan bagus. Cantik, menggoda, kadang cute, tapi di sisi lain bisa tidak terduga dan berbahaya.
Di sisi lain, Cathy Yan, sang sutradara, berhasil membentuk karakter masing-masing tokoh dengan cukup kuat. Misalnya Renee Montoya yang “kuno” (gaya bicaranya seperti film polisi 80-an) atau Helena Bertinelli yang canggung (sering jadi kejutan lucu, Mary Elizabeth Winstead layak diacungi jempol). Para pemeran pun terlihat menikmati karakter yang mereka bawakan.

Tapi menurut saya, walau unik, karakter Renee Montoya agak kurang pas berada di tengah geng ini. Mungkin agak terlalu tua. Saya agak sulit membayangkan bagaimana karakter ini berkembang kalau ada sekuel film Birds of Prey.
Saya juga agak kecewa ketika mengetahui kalau Barbara Gordon alias Oracle alias Batgirl tidak ada. Padahal karakter ini bisa jadi benang merah menarik dengan DCEU secara keseluruhan, terutama dengan Batman. Yah, mungkin DC punya rencana sendiri sehubungan dengan film The Batman yang akan menyusul.
Kemudian, meskipun Ewan McGregor berperan dengan baik sebagai Roman Sionis atau Black Mask, entah kenapa saya merasa Sam Rockwell lebih cocok sebagai tokoh satu ini.
Seru Tapi Kurang Mengigit
Selain karaker tokoh, hal lain yang saya suka di film ini adalah adegan laganya. Keputusan Cathy Yan bekerja sama dengan tim yang menggarap John Wick untuk Birds of Prey sangat tepat.
Selain karena memang hampir semua jagoan ini tidak punya kekuatan super (kecuali Black Canary), adegan laga di film ini cukup memberi angin segar di tengah film superhero yang mengandalkan CGI. Aksinya beritme cepat dan dinamis. Lucunya, adegan ketika Black Canary mengeluarkan teriakan hipersoniknya malah terlihat agak aneh.

Nah, bicara soal kekurangan, lagi-lagi film DC belum mampu menunjukkan cerita yang kuat. Dengan karakter yang sudah menarik dan adegan laga yang oke, jalan cerita film Birds of Prey terhitung sedikit kurang yahud.
Tidak jelek, hanya masih kurang. Konfliknya masih agak terlalu datar dan ritme cerita juga kadang kendor. Flashback sedikit mengurangi momentum cerita. Dengan begitu, akhirnya jadi kurang menggigit. Yah, bisa saja ada argumen yang berkata kalau itu terjadi karena film ini merupakan kisah yang diceritakan Harley Quinn. Mengingat karakternya yang agak gila, jadi nggak ada yang penting. Bisa jadi, tapi kok sayang ya…
Btw, ada satu hal lagi yang mengganjal. Waktu ada ledakan besar di Ace Chemicals, tidak ada penjelasan kenapa Batman tidak muncul. Bayangkan. Ledakan besar di Gotham, di kotanya Batman, dan yang meledakkan adalah Harley Quinn, mantan kekasih Joker, musuh bebuyutan Batman. Bayangkan.
Satu Poin Bagi DC
Anyway, secara keseluruhan, menurut saya film Birds of Prey berhasil keluar dari bayang-bayang gelap Suicide Squad. Kalau harus memilah, mungkin film ini lebih condong ke sisi positif film DC, bergabung dengan Wonder Woman, Aquaman, atau Shazam!.
Agak menguntungkan juga sebenarnya, ketika film ini dipandang dengan pesimis. Karena tidak adanya harapan yang tinggi, berarti tidak akan terlalu kecewa waktu melihatnya. Bagaimanapun Birds of Prey, walau cerita kurang kuat, pada akhirnya membuktikan kalau ia lebih baik dari dugaan orang (termasuk saya, yang masih terpesona pada Margot Robbie).
UPDATE: Penyesuaian nilai rating.