Pada tanggal 15 Januari 2020, Christopher Tolkien, putra dari penulis The Lord of the Rings, J.R.R. Tolkien, wafat di usia 95 tahun di Perancis.
Sebagai orang yang mengaku suka baca, saya terjun ke dunia LOTR—begitu saga ini biasa disingkat—sedikit terlambat. Itu pun bukan melalui bukunya. Namun lewat filmnya, The Lord of the Rings: The Fellowship of the Rings (2001).
Ketika itu, saya masih belum terpikat dengan dunia LOTR. Bahkan sampai ketika film berikutnya, The Lord of the Rings: The Two Towers (2002) dan The Lord of the Rings: The Return of the King, dirilis.
Yah, mungkin karena saat itu seri Harry Potter sedang berada di puncak ketenaran. Ceritanya juga lebih renyah dan lebih kekinian untuk dinikmati. Harus kita akui, J.K. Rowling adalah seorang pencerita yang dahsyat (silakan baca versi bahasa Inggris).
Saya baru benar-benar terjun ke dunia LOTR setelah mendapatkan buku The Lord of the Rings berbahasa Inggris. Buku itu merupakan edisi lengkap—tiga seri jadi satu—termasuk 6 bagian apendiks dan peta. Di situlah saya sadar betapa dahsyatnya dunia ciptaan J.R.R. Tolkien ini.
Setelah itu, saya mulai petualangan saya di mitologi Middle Earth. Baik membaca buku prekuelnya, The Hobbit dan The Silmarillion, dan membaca ulang trilogi LOTR sampai ke semua apendiks. Termasuk mencari tahu beberapa hal yang menarik, seperti: Siapa sih Tom Bombaldil?
Sang Eksekutor Literasi
Kalau kamu bertanya siapa orang paling berpengaruh di dunia Lord of the Rings, jawabannya mungkin justru bukan sang pengarang, J.R.R. Tolkien. Melainkan putranya, Christopher Tolkien.
J.R.R. Tolkien sendiri menyebut Christopher sebagai “kritikus paling keras dan kolaborator”. Tolkien, yang wafat tahun 1973, juga menunjuk putranya itu sebagai eksekutor literasi untuk karyanya di dalam surat wasiat.

Christopher sudah rajin memberi masukan pada ayahnya sejak kecil, ketika ia mendengar kisah petualangan Bilbo Baggins. Ia meneruskan rutinitas itu selama masa pengembangan The Lord of the Rings. Christopher pula yang membantu menyusun peta Middle Earth secara utuh (yang ada di buku), karena ayahnya sering tidak konsisten.
Christopher juga yang mengumpulkan dan menyusun berbagai manuskrip tulisan tangan ayahnya (yang belum dipublikasikan saat itu) tentang legendarium Middle Earth. Dari berbagai manuskrip itu kemudian lahirlah beberapa buku seperti The Silmarilion, Unfinished Tales, 12 volume The History of Middle-earth, The Children of Hurin, Beren and Lúthien, dan The Fall of Gondolin. Ia pun menyunting beberapa karya ayahnya yang tidak berhubungan dengan mitologi Middle Earth. Salah satunya adalah Beowulf.
Komitmen Luar Biasa
Kalau kamu sudah membaca semua buku LOTR secara lengkap (termasuk apendiks yang panjang), kamu akan tahu betapa kompleks dan detil dunia itu (dan imajinasi Tolkien). Bayangkan semua itu berserak dalam bentuk catatan tulisan tangan yang terpisah.
Komitmen Christopher Tolkien pada dunia ciptaan ayahnya memang tiada duanya. Tanpa dirinya, mungkin The Hobbit dan The Lord of the Rings akan punya wajah berbeda. Tanpa dirinya, kita tidak akan tahu legendarium Middle Earth, termasuk bagaimana The One Ring dibuat. Tanpa Christopher Tolkien, jelas tidak akan ada serial Lord of the Rings.

Dunia Harry Potter karya J.K. Rowling juga merupakan karya yang hebat. Namun, untuk saya pribadi, masih terasa belum “utuh”. A Song of Ice and Fire karya George R.R. Martin, yang menjadi dasar serial Game of Thrones, juga merupakan kisah yang dahsyat. Tapi sejauh ini masih belum selesai dan memiliki untaian cerita yang tersebar (ia mungkin terlena dengan serial TV yang sukses).
Mungkin karya kedua penulis itu bisa menjadi lebih baik jika mereka memiliki seorang “Christopher Tolkien” di sisinya. Seorang yang memiliki visi tidak kalah tajam, kritik yang membangun, dan komitmen yang tak tergoyahkan.