Nggak terasa, tahun 2020 akan segera berakhir. Dengan adanya pandemi corona, kita nggak memiliki banyak film yang bisa dinikmati. Meski begitu, 2020 adalah tahun bagi sinema Korea pasca Parasite memenangkan Oscar. Kali ini Popculture.id akan review film Korea terbaru berjudul Peninsula
Bagi kamu yang belum tahun, film Peninsula adalah kelanjutan dari film tahun 2016, Train to Busan. Kita cukup beruntung, di tahun ‘virus’ ini ada film bertema zombie yang ditayangkan melalui kanal streaming. Berbeda dengan Train to Busan yang mendapat banyak pujian, review film Peninsula kali ini mungkin akan sedikit ‘pedas’. Bagi siapapun yang sudah nonton, pasti tahu alasannya.
Plot
Sebelum membahas lebih dalam, film Peninsula sendiri bercerita tentang sekelompok pengungsi dari Korea yang menetap di Hong Kong dan kembali ke tempat asalnya yang telah berganti nama menjadi Peninsula. Sekelompok orang ini ditugaskan untuk mengambil sejumlah uang yang tertinggal di Peninsula yang dipenuhi oleh zombie.
Berharap tugas cepat selesai, mereka justru terjebak beberapa hari di Peninsula karena ulah para penduduk asli. Selain harus menghindari zombie, karakter utama dalam film ini juga mesti berhadapan dengan sekelompok orang yang telah lihai dan beradaptasi dengan zombie. Peperangan pecah dan perebutan uang terjadi. Siapa sangka orang-orang di Peninsula yang telah beradaptasi justru berkeinginan keluar dari neraka tersebut.
Film Yang Menghibur

Meski sudah membaca review ini, kamu harus menonton film ini dengan pikiran positif. Meski Peninsula mendapat nilai jelek di beberapa kanal kritik, sebenarnya film ini cukup menyenangkan untuk ditonton. Sama seperti film laga lainnya, Peninsula sukses membangun atmostir pertarungan dan konflik sengit antar karakternya.
Ada sejumlah hal menarik dalam film ini. Antara lain adalah teknologi-teknologi post apokalips para penghuni Peninsula dan hiburan manusia vs zombie yang diadakan oleh para militeris di Peninsula. Saat menonton, kamu akan teringat pada mobil-mobil dalam film Mad Max atau arena bertarung zombie yang ada di serial The Walking Dead. Isu rasisme yang diangkat dalam film ini juga punya porsi yang cukup. Menegaskan bahwa Peninsula nggak di buat hanya untuk hiburan semata.
Dialog yang Mengganggu

Jika bicara kekurangan, hal yang paling kurang dalam film ini adalah dialognya. Film ini menyuguhkan dialog campuran tiga bahasa. Pertama bahasa Korea lalu bahasa Mandarin (Hong Kong) dan bahasa Inggris.
Saya nggak memiliki masalah saat beberapa karakter menggunakan bahasa Mandarin. Namun ketika mereka menggunakan bahasa Inggris, kenyamanan saya terganggu. Bukan merendahkan para aktor yang bermain, sebenarnya penggunaan bahasa bisa diseragamkan jika memang terasa sulit. Kalau nggak percaya kamu boleh tonton filmnya dan dengarkan para aktor bicara menggunakan dialog bahasa Inggris yang terdengar seperti Google Translate.
Dramatisasi yang Pretensius

Saya mengerti betul bahwa Peninsula adalah kelanjutan dari film Train To Busan. Karena menganggap formula di film pertamanya berhasil, film ini kembali menggunakan beragam dramatisasi dalam setiap adegannya. Puncak semua dramatitasi tersebut ada di akhir cerita, saat para karakter utama hendak meninggalkan Peninsula.
Formula dramatisasi ala Train to Busan jelas gagal dalam film ini. Kenapa? Sebab para karakter dalam film ini bukan orang-orang yang nggak berdaya seperti dalam film Train to Busan. Hampir seluruh karakter dalam film ini memiliki survival insting yang kuat, keahlian menggunakan senjata api sampai skill mengemudi tingkat dewa.
Hasilnya, dramatisasi di akhir cerita menjadi hambar dan pretensius. Bagaimana bisa kita merasakan haru dan sedih jika sebelumnya kita melihat para karakter utama mengemudikan mobil seperti Vin Diesel dan menembakan senjata layaknya John Wick?