Waktu saya melihat trailer serial Ripley, tentu saya tertarik dengan nuansanya yang misterius. Karena saya memang suka cerita misteri. Di samping itu, saya juga bisa melihat dari penampilannya yang hitam putih dan komposisi gambarnya, kalau serial ini bakal jadi sebuah serial yang artistik.
Ripley adalah sebuah serial thriller psikologis yang tayang di Netflix dan diangkat dari novel berjudul The Talented Mr. Ripley, karya Patricia Highsmith. Serial ini menjadi adaptasi ke-3 dari novel itu, setelah film Plein Soleil (1960) yang dibintangi Alain Delon dan The Talented Mr. Ripley (1999) yang dibintangi Matt Damon.
Adaptasi kisah itu sebagai serial kali ini ditulis dan disutrradarai oleh Steven Zaillian. Ia adalah penulis naskah berbagai film populer, seperti The Irishman (2019), Moneyball (2011), American Gangster (2007), juga Gangs of New York (2002). Ia juga menjadi penulis dan sutradara darii serial The Night Of (2016).
Selain itu serial ini dibintangi oleh Andrew Scott, Dakota Fanning, Johnny Flynn, Maurizio Lombardi. Kalau kamu kurang kenal dengan nama Andrew Scott, ia adalah aktor yang memerankan James ‘Jim’ Moriarty di serial Sherlock.
So, there you have it. Sebuah serial yang punya modal cukup untuk memberikan sebuah tontonan berkualitas.
Cerita Serial Ripley
Pada tahun 1960-an di New York, Tom Ripley, seorang penipu, dihubungi oleh Herbert Greeenleaf, seseorang yang kaya raya, untuk mencari anaknya Richard ‘Dickie’ Greenleaf di Italia dan membawanya pulang. Namun, kehidupan santai dan nyaman Dickie di luar negeri itu memicu serangkaian peristiwa kompleks, termasuk pembunuhan.

Tom kemudian pergi ke Italia dan bertemu dengan Dickie Greenleaf yang tinggal di Vila di kota kecil Atrani dan memiliki kekasih Marge Sherwood. Tom segera terpikat dengan gaya hidup Dickie. Ia memberitahu Dickie soal rencana ayahnya, namun menyebutkan kalau ia tidak akan mengikuti rencana itu. Dickie lalu mengundang Tom tinggal di vilanya.
Tom mulai membayangkan dirinya sebagai Dickie, termasuk mencoba bajunya dan ketahuan oleh Dickie. Kecanggungan itu bertambah ketika Dickie menemukan kalau Tom tidak jujur pada ayahnya. Herbert menulis surat pada Dickie dan memperingatkannya untuk hati-hati pada Tom.
Dickie dan Marge pun berdiskusi soal Tom. Dickie kemudian mengajak Tom berlibur ke San Remo. Di sana ia mengajak Tom naik perahu dan pergi ke tengah laut. Dickie mengungkapkan rencana untuk berlibur Natal hanya dengan Marge, dan kecurigaan ayahnya pada Tom. Ia juga secara halus mengusir Tom. Tapi Tom kemudian memukul kepala Dickie dengan dayung dan membunuhnya.
Begitulah Tom kemudian mengambil alih identitas Dickie, menjual beberapa asetnya, dan pergi ke Roma, sambil menghindari kecurigaan Marge.
Serial Yang Artistik

Seperti yang sudah disebut di atas, serial ini memang sebuah serial yang artistik. Terutama bisa dilihat dari pemilihan tampilan hitam putih yang fokus pada pencahayaan dan komposisi gambar yang aduhai.
Yah, karena tidak ada warna, kontras pencahayaan dan komposisi memang menjadi senjata utama film hitam putih. Di sini pujian harus diberikan pada Robert Elswit sebagai sinematografernya. Gambar-gambarnya memang indah.
Pencahayaan yang keren ini mungkin juga senada dengan salah satu hal yang sering muncul di dalam cerita yaitu lukisan Caravaggio, yang terkenal karena observasinya pada manusia dan pencahayaannya yang dramatis.
Bahkan, pada satu momen, Tom Ripley teringat pada pastur yang berkomentar soal lukisan Caravaggio, “Cahaya. Selalu Cahaya”, lalu ia memanfaatkan cahaya ruangan untuk mengelabui instepektur Ravini supaya tidak mengenalinya.
Tidak hanya itu, kamu juga bisa melihat ada beberapa pengambilan gambar yang khas untuk beberapa adegan tertentu. Misalnya ketika Tom naik bis, ada framing yang unik memperlihatkan bagian dalam bis yang sedang bergerak.
Walau begitu, gambar dan adegan di serial Ripley ini tidak sampai pada konsep yang ada di film-film Wes Anderson yang sangat grafis dan presisi. Tampilan visualnya masih cukup natural.
Ritme Cerita Cukup Lambat

Harus saya sebutkan bahwa ritme cerita serial Ripley berjalan cukup lambat, terutama di episode-episode awal. Yah, mungkin tidak semua orang betah menonton serial dengan ritme seperti ini.
Dalam dua episode pertama, kita hanya melihat bagaimana Tom masuk di kehidupan Dickie dan Marge, lalu mulai menunjukkan indikasi yang mengancam. Itupun berjalan dengan halus tanpa adegan-adegan yang dramatis — atau menyedot perhatian.
Baru pada episode ketiga, cerita meningkatkan ketegangan dengan Tom membunuh Dickie. Pada episode 5 ia membunuh Freddie, teman Dickie. Lalu ia pun menghadapi kecurigaan polisi.
Tidak jarang sebuah peristiwa hadir dan dipenuhi detil-detil atmosfer. Misalnya menunjukkan sebuah adegan dari berbagai sudut gambar atau berbagai obyek yang ada sebagai pendukung adegan itu.
Yah, seperti yang sudah dibahas di atas, sinematografi yang keren memang menjadi bagian dari serial ini. Pada momen-momen tertentu, fokus pada obyek memang menjadi bagian integral cerita yang memperkuatnya. Entah itu detil yang informatif atau sebagai sebuah simbol.
Kita bisa melihat bagaimana mesin tik menjadi bagian dari kegiatan Tom dan bagaimana kesalahan teknis di mesin tik milik Dickie memainkan peranan penting. Lalu kita juga bisa melihat bagaimana Tom menyukai asbak, yang juga memainkan peranan penting, punya bentuk yang sama.
Tapi sekali lagi, komposisi cerita seperti ini akhirnya memang memberi “beban” tersendiri. Terutama bagi mereka yang tidak biasa nonton film drama yang penuh dialog dan detil.
Karakter Tom Ripley Begitu Intens

Dalam kisah ini, tentu saja tokoh Tom Ripley menjadi fokus utamanya, dan Andrew Scott memberikan sosok yang berbeda dari yang ditampilkan sebelumnya oleh Alain Delon dan Matt Damon.
Andrew Scott menyajikan sosok yang intens, yang terlihat memiliki berbagai pikiran yang berkecamuk di benaknya di balik penampilannya yang selalu tampak berusaha tenang. Ada kegelisahan yang tersirat.
Pada satu sisi, saya merasa sosok itu kelihatan tidak sesuai dengan kenyataan bahwa ia berusaha menjalankan hidup sebagai orang lain. Di sisi lain, semua tokoh yang berinteraksi dengan Tom juga terlihat seperti itu. Ada sebuah kecurigaan, namun mereka tidak bisa menunjukkan apa itu.
Yah, kecuali detektif dari New York yang mengetahui siapa Tom sebenarnya. Tapi pada akhirnya ia pun termakan oleh manipulasi Tom.
Penampilan Andrew Scott sebagai Tom Ripley ini mungkin mengingatkan kita pada perannya sebagai Jim Moriarty di serial Sherlock. Di serial itu, Jim Moriarty juga terlihat sangat intens. Yah, mungkin psikopat memang seperti itu ya.
Tapi ada tetap ada perbedaan yang cukup mencolok di antara dua penampilan itu. Jim Moriarty lebih tampak meledak-ledak, sedangkan Tom Ripley terlihat berusaha tenang.
Secara pribadi, sebenarnya saya berharap Andrew Scott bisa lebih memberikan perbedaan pada penampilannya, baik sebagai Tom maupun ketika ia menjadi Dickie. Yah, sekedar peerbandingan, kamu bisa melihat bagaimana Christopher Reeve tampil beda sebagai Clark Kent dan sebagai Superman, atau bagaimana perubahan sikap Kevin Spacey di film The Usual Suspects.
Bagus, Tapi Bukan Buat Semua Orang
Secara keeluruhan, serial Ripley memang bagus. Tampilan visualnya menjadi poin yang paling kuat. Lalu para pemeran juga bisa tampil menarik sesuai kapasitas mereka masing-masing. Sementara ceritanya cukup menarik walau ritmenya cukup lambat dan tidak selalu mengigit.
Jadi yah… Serial Ripley ini akan sangat menarik bagi mereka yang menyukai drama thriller dengan studi karakter sebagai fokus dan berbagai detil yang penuh simbolisme. Namun jika kamu mencari hiburan dengan ritme yang cepat dan dinamis, mungkin serial ini bukan yang kamu cari.
Kalau berminat, silakan cek serial Netflix terbaru lain di tahun 2024 ini.